Opini



Surono Danu dan Kelahiran Buah Pikiran


Pemilihan penggunaan konsep environmental education bagi SMP Taruna Jaya I Surabaya, bukanlah tanpa alasan. Bukan pula hadir sekonyong-konyong, laksana penampakan hantu di tengah malam. Konsep environmental education, dengan sadar dipilih dan digunakan untuk membantu meraih visi, misi dan tujuan sekolah. Penggunaan konsep pendidikan berbasis lingkungan, juga merupakan proses kelahiran buah pikiran dari seluruh stakeholder pada waktu itu, melalui FGD (focus group discussion).

Diharapkan pada tahap lanjutan, akan tercipta antara lain: lingkungan pembelajaran yang nyaman di sekolah, lingkungan pengetahuan yang bersih dan asri, lingkungan komunitas yang sehat, serta lingkungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang ramah dan bersahabat. Melalui pendidikan berbasis lingkungan, SMP Taruna Jaya bermaksud membantu siswa-siswinya dalam mengembangkan pengetahuan, nilai-nilai, keterampilan dan perilaku, yang sekiranya dapat membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan masa kini, dengan tanpa mengorbankan kesejahteraan generasi penerus. Hal ini yang kemudian patut digarisbawahi melalui tulisan kali ini.

Surono Danu

Sehubungan dengan hal tersebut, Surono Danu, adalah salah satu sosok yang patut dianut. Mestinya, environmental education juga mampu melahirkan sosok Surono Danu yang lain bagi Indonesia. Surono Danu, beliau adalah peneliti pangan, sang penemu bibit unggul padi Sertani. "Bukan menemukan, saya melahirkan buah pikiran. Di sini kesalahan dari pemerintah kita yang mencetak sarjana seperti ubin, dicetak, sehingga tidak berkembang! Saya ingin melahirkan (buah pikiran), yang dengan sendirinya nanti bisa berkembang!", demikian ujarnya saat diwawancarai oleh Metro TV dalam program 360 pada 13 Maret 2014 lalu.

Melalui environmental education, siswa SMP Taruna Jaya tidak hanya diharapkan mampu memenuhi kebutuhannya melalui pengolahan dan budidaya tanaman, namun juga tidak bersikap egois. Memiliki empati dengan tidak mempergunakan pupuk kimia dan pestisida di kebun sekolah. Menjaga kebersihan, dan belajar merawat kelestarian lingkungan. Turut memikirkan keberlanjutan kebun sekolah, yang nantinya masih akan dipergunakan oleh adik kelas. Demikian pula pada tim Taruna Hijau, yang tidak hanya belajar mengolah dan menjual produk hasil budidaya dari kebun sekolah, namun juga memiliki tanggung jawab dalam melestarikan ekosistem yang ada di kebun sekolah.   

Seperti diberitakan, Surono Danu, adalah mantan pegawai Departemen Pertanian yang memiliki kepedulian terhadap kedaulatan pangan. "Saya ingin Indonesia berdaulat tentang pangan, bukan ketahanan pangan. Saya merasa Indonesia bangsa yang besar," demikian ujarnya penuh keyakinan. Surono Danu tampak begitu prihatin, manakala pemerintah harus mengimpor beras dari negara lain. Ia pun mengkritik keras kebijakan mendatangkan bibit dari China. Menurutnya, bibit lokal juga banyak yang unggul. Kebijakan impor bibit, justeru melahirkan mutasi gen pada hama padi. "Yang ada sekarang saja, tidak semuanya kita tahu cara menghalaunya. Apalagi jika ada hama baru," ujarnya sembari menunjukkan wereng jenis baru, yang berbeda dari wereng penyerang padi sebelumnya.

Di usianya yang semakin senja, Surono mengaku tidak memiliki modal untuk melakukan penelitian. Setahun lamanya ia berkeliling Sumatera, untuk mencari bibit unggul lokal. Setelah delapan tahun melakukan penelitian, ia pun mampu menghasilkan bibit unggul padi, yang diberi nama Sertani. Bibit ini tahan hama, bisa beradaptasi dengan segala jenis lahan, dan memiliki bulir yang lebih banyak ketimbang yang lain. Selain padi, sebenarnya juga ada bibit unggul yang lain, seperti: semangka, singkong, kedelai, jagung, dan sebagainya. Surono menambahkan, bahwa permasalahan petani tak hanya berhenti pada hama dan bibit. Kondisi tanah yang rusak akibat penggunaan pupuk kimia, juga merupakan kendala tersendiri. Karenanya, Surono banyak membimbing petani melakukan teknik tertentu agar dapat mengembalikan kondisi tanah seperti semula.

Namun demikian kepada Metro TV, ia mengaku sebagai sosok yang jahat. "Jahat, karena saya menyebarkan virus ke mana-mana, supaya orang itu punya sikap, tentang kedaulatan pangan!" tegasnya dengan penuh arti. Menurut Surono, keluarganya adalah pihak yang paling mendukung usahanya. Surono bersyukur bahwa ia diberi sosok isteri yang sangat luar biasa. "Dia tidak pernah menanyakan soal uang. Saya neliti bahan pangan, tapi pernah gak punya beras!" ungkapnya. Surono bercerita, bahwa kala itu ia sempat ingin memberikan gabah yang ada untuk dijadikan beras, dan diberikan kepada keluarga untuk dimakan. Namun, kemudian diurungkannya, dan menggantikannya dengan sego kuning (jagung, red.). "Anak saya itu pernah dikasih makan jagung, sama seperti makanan untuk ayam penelitian saya!" sambung Surono.

Meski demikian, Surono tetap melanjutkan penelitiannya. Ia berharap, agar Indonesia tetap bisa memiliki kedaulatan pangan. Ketika ditanya perihal dana penelitian, ia pun mengaku tidak memiliki modal uang yang berlimpah. Kepada mereka yang meminta bibit pun, kerap ia serahkan dengan gratis. "Saya telah yakin Allah ini ada. Saya diberi sel otak dan nurani sejak di dalam rahim ibu. Dan saya lahir tidak dibekalin duit sama malaikat. Itu modal saya. Dan mereka (petani) juga modal saya ini. Dan saya merasa orang paling kaya di Indonesia," terang Surono.

Dikatakan oleh Surono, saat ini usahanya sudah banyak membawa manfaat bagi petani. Untuk itu ia mengaku, bahwa HP-nya tidak pernah mati, agar dapat selalu memberikan pendampingan terhadap pertanyaan yang diajukan para petani. Selama 24 jam non stop, Surono merasa tidak mau mengecewakan petani. Petani binaannya ada yang berasal dari Aceh, Papua, Sambas, Jepara, hingga Pontianak. "Nenek moyang, tidak mengajarkan kita untuk jadi minta-minta, minta beras ke negara asing, yang belum tentu mutunya bisa sama dengan yang kita punya," pungkasnya. Kini, Surono bahkan mengaku telah diminta oleh beberapa negara asing untuk menjual bibit Sertani ke luar negeri. "Satu gram itu dihargai Rp. 400 juta. Dia hanya minta 400 gram, dan satu gram itu sebenarnya hanya isi 33 butir," ungkap Surono. Namun iming-iming itu tetap ia tolak, demi mimpi memberikan kedaulatan pangan bagi bangsa Indonesia. Surono khawatir, jika bibit itu kemudian ia jual ke luar negeri, lalu mereka berhasil membudidayakannya, maka kemudian mereka akan berhasil mengekspor berasnya. Di sisi lain, bisa jadi Indonesia kelak, kembali mengambil kebijakan untuk melakukan impor beras. Padahal bibit dari beras itu, berasal dari kekayaan lokal.

After School Programs SMP Taruna Jaya

Dalam hal ini, sudah sepatutnya pendidikan Indonesia mampu melahirkan Surono Surono baru. Memiliki integritas, didukung keluarga yang setia, berani, pantang menyerah, gemar berbagi, ulet, tidak materialistis, religius, serta memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Seperti dikatakan olehnya, bahwa pendidikan semestinya tidak mencetak, namun melahirkan buah pikiran dari setiap pribadi siswanya. Dalam hal ini, environmental education memiliki potensi untuk menyalurkan buah pikiran siswa, dan membiarkannya berkembang. Tumbuh dan berkembang, bersama pengalaman lingkungannya. 

Program After School Programs (ASP) adalah salah satu best practices milik SMP Taruna Jaya. Melalui ASP, siswa dapat mengembangkan alam pikirnya, sehingga memiliki olah pengalaman bersama lingkungan. Beberapa aktivitas di kebun sekolah, merupakan media pengembangan pikiran yang tidak terbatas pada ruang dan waktu. Penanaman nilai-nilai nasionalisme dan keagamaan, juga memungkinkan untuk dipadu merujuk pada potensi dari setiap peserta didik.


Yuniawan Heru Santoso
Yayasan Pendidikan Taruna Jaya Surabaya